Penyebaran Islam di Nusantara adalah proses
menyebarnya agama Islam
di Nusantara
(sekarang Indonesia).
Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat,
India selama abad
ke-11, meskipun Muslim
telah mendatangi Nusantara sebelumnya.[butuh
rujukan] Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah
penganut Hindu dan
Buddhisme
sebagai agama dominan bangsa Jawa
dan Sumatra. Bali
mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian
besar tetap menganut animisme
sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen
menjadi dominan di daerah tersebut.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya
didorong oleh meningkatnya jaringan
perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan
dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi
Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan
Mataram (di Jawa
Tengah sekarang), dan Kesultanan
Ternate dan Tidore
di Kepulauan
Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di
Sumatera
Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya,
Brunei, Filipina
selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa
Timur, abad ke-15 di Malaka
dan wilayah lain dari Semenanjung
Malaya (sekarang Malaysia).
Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat
Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan
gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara,
melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun
menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah
Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak
informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia
sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa
kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara
kala itu.[1]:3
Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini,
adalah batu nisan
dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat
menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada
waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih
rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini,
atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini
tidak bisa diasumsikan,
bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka
proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya
telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses
yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan
tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia
modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika
Kerajaan Hindu
Majapahit di
Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak.
Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah
mengganti nama Sunda
Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta"
(berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu
menjadi "Jakarta".
Asimilasi
budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat
setelah penaklukan ini.
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan
umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam
ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa
kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat
Nusantara.[1]:3
Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini,
adalah batu nisan
dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat
menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada
waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia
Belanda maupun Republik
Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di
Pulau Jawa
dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian
purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal
sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun
swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada
mengeksplorasi yang lama.[2]
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat
Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad.
Sejarawan Merle
Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana
Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak
dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia
asing (India,
China, Arab,
dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal.
Islam diperkirakan telah hadir di Asia
Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam,
'Utsman' (644-656)
utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut
Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah
kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12
diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim
Sriwijaya di
Sumatra.
Kesaksian awal tentang
kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan
Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara
adalah terkenal di antara pelaut
Muslim terutama
karena kelimpahan komoditas perdagangan
rempah-rempah berharga seperti Pala,
Cengkeh, Lengkuas
dan banyak lainnya.[3]
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan
tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau
pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3
Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di
Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian
peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H
(1082 M),
meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan
tersebut tidak diangkut ke Jawa pada masa setelah tahun tersebut.
Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera
Utara, Marco
Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292,
melaporkan setidaknya satu kota Muslim,[4]
dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal
tahun 696 H (1297
M), dari Sultan Malik
al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera
Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya
pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i,
yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu
Battutah, seorang peziarah dari Maroko,
tahun 1346. Dalam
catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera
Pasai adalah seorang Muslim,
yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab
yang digunakannya adalah Imam
Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.
Menurut wilayah
Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat
Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad
ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada
aktivitas misionaris Muslim terorganisir.[5]
Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa
beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku
Sunda di Jawa
Barat dan kerajaan Majapahit
di Jawa Timur
ditaklukkan oleh Muslim Jawa
dari Kesultanan
Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran
ditaklukkan oleh kaum Muslim pada abad
ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur
yang Hindu-Buddha sering berperang.[1]:8
Pendiri Kesultanan
Aceh Ali
Mughayat Syah memulai kampanye militer pada tahun 1520 untuk
mendominasi bagian utara Sumatera dan mengkonversi penduduknya
menjadi Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan
adanya Wali
Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar
dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini.
Malaka
Didirikan sekitar awal abad ke-15 , negara
perdagangan Melayu Kesultanan
Malaka (sekarang bagian Malaysia)
didirikan oleh Sultan
Parameswara, adalah, sebagai pusat perdagangan paling penting di
kepulauan Asia
Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian
muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara
sendiiri diketahui telah dikonversi ke Islam,
dan mengambil nama Iskandar
Shah setelah kedatangan
Laksamana Cheng Ho
yang merupakan Suku
Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain
batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam
di kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya
dan penguasa mereka pada akhir abad ke-15.
Sumatera Utara
Masjid di Sumatera
Barat dengan arsitektur tradisional Minangkabau.
Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi
budaya yang berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14
dari Minye Tujoh
di Sumatera
Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis
karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan
di Brunei,
Trengganu
(timur laut Malaysia)
dan Jawa Timur
adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki dominasi
bahasa
Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan representasi
pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan: survei umum
pantai samudra (1433) yang ditulis oleh Ma
Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng
Ho: "negara-negara utama di bagian utara Sumatra
sudah merupakan Kesultanan
Islam. Pada tahun
1414, ia (Cheng Ho)
mengunjungi Kesultanan
Malaka, penguasanya Iskandar
Shah adalah Muslim
dan juga warganya, dan mereka percaya dengan sangat taat".
Di Kampong
Pande, Banda
Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman
Syah, cucu dari Sultan Johan
Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang menyatakan bahwa Banda
Aceh adalah ibukota Kesultanan
Aceh Darussalam dan bahwa kota itu didirikan pada hari Jumat, 1
Ramadhan (22 April
1205) oleh Sultan
Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra
Purba yang beribukota di Bandar
Lamuri.
Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut
di bagian Utara pulau Sumatera didokumentasikan oleh kuburan-kuburan
akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua
Kesultanan
Pedir (sekarang Pidie),
Muzaffar
Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf
Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan
Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi
negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang
paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan
Aceh adalah Ali
Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).
Pada 1520, Ali Mughayat
Syah memulai kampanye militer untuk mendominasi bagian utara
Sumatera. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi orang-orangnya ke
Islam. [7]
Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie
dan Pasai
menggabungkan beberapa daerah penghasil emas
dan lada. Penambahan
daerah-daerah tersebut akhirnya menyebabkan ketegangan internal dalam
Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai bandar
perdagangan, yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah
bandar produksi.
Buku ahli pengobatan Portugis
Tome Pires
yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatera dari
kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling
penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut,
menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh
dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang,
para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan
di sekitar ujung selatan Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar
bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai
dan Minangkabau
penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan
orang-orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh
Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut baru.
Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis
dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan
rempah-rempah, Sultan Aceh
Alauddin
al-Kahar (1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan
Utsmaniyah, Suleiman
I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran
Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim laksamana mereka,
KurtoÄŸlu
Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal
membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut
laporan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão
Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh
terdiri dari beberapa orang
Turki dan kebanyakan Muslim
dari pelabuhan Samudera
Hindia
Jawa Tengah dan Jawa Timur
Masjid Agung Demak,
Kerajaan Islam pertama di Jawa.
Prasasti-prasasti dalam
aksara Jawa Kuno,
bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak serangkaian batu nisan
bertanggal sampai 1369 M di Jawa
Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa
pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan
dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit,
Louis-Charles
Damais (peneliti dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini
adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat terhormat, bahkan
mungkin keluarga kerajaan.[9]
Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit Kerajaan Majapahit di Jawa
telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan Kerajaan
Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.
Ricklefs
(1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi
dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan
lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi
politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan
dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir
pasti telah melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun
kemungkinan adanya abdi
dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta
pedagang masih
sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi
mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih
mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana
Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan
Buddha.[1]:5
Pada awal abad
ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku
Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di
pedalaman Jawa Timur di Daha
(sekarang Kediri).
Namun daerah pesisir seperti Surabaya,
telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman,
kecuali Tuban, yang
tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir
tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke
Islam, atau wilayah Tionghoa
Muslim, India, Arab
dan Melayu
yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di pantai.
Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut
begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya
tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa". Perang
antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus
berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan
Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah
kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.[1]:8
Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas.
Muslim Tionghoa, Ma
Huan, utusan Kaisar
Yongle,[4]
mengunjungi pantai Jawa pada 1416
dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum
pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis orang di Jawa:
Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah
Muslim) dan Jawa yang bukan Muslim.[10]
Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh
tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin
memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum
orang Jawa pesisir.
Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M)
ditemukan di Gresik,
pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana
Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing
non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir
Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu
dari sembilan penyebar Islam di Jawa (disebut Wali
Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang
tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan
Majapahit yang kuat di Jawa mengalami kemunduran. Setelah
dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu
terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan
Demak pada tahun 1520.
Jawa Barat
Suma
Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome
Pires melaporkan juga bahwa Suku
Sunda di Jawa
Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam.[1]
Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16.
Dalam studinya tentang Kesultanan
Banten, Martin
van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga
kerajaan, menjadi pembeda bahwa proses Islamisasi dengan yang berlaku
di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber
pribumi mengasosiasikan "tarekat"
tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan
magis dan legitimasi politik."[11]
Ia menyajikan bukti bahwa Sunan
Gunungjati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra",
"Shattari",
dan "Naqsyabandiyah"
dari sufisme.
Daerah lain
Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang
Nusantara sebelum abad ke-16 di daerah luar Pulau Jawa, Pulau
Sumatera, Kesultanan
Ternate dan Tidore
di Maluku,
dan Kesultanan
Brunei dan Semenanjung
Melayu.
Legenda Nusantara dan Melayu
Meskipun
kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat
ditentukan secara luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa
menjawab banyak pertanyaan yang spesifik, sehingga kontroversi terus
mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan
mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam
tidak dimulai hingga beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing
mengunjungi dan tinggal di Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak
cukup menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran"
istimewa Islam di Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang
dominan di Nusantara.[1]:8
Untuk mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari
referensi ke legenda-legenda Melayu dan Nusantara tentang konversi
pribumi Nusantara ke Islam.
Ricklefs
berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan
historis yang dapat diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya,
legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik terang mengenai
beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di
masyarakat, ke dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar
belakang asing dan hubungan perdagangan para guru Islam awal, dan
proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke
bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana generasi
muda Nusantara (Indonesia)
melihat proses Islamisasi ini.[1]:8–11
Sumber-sumber ini termasuk:
-
Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang menceritakan bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara yang pertama didirikan.
-
Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan kisah konversi Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
-
Babad Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar manuskrip, di mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan pada Wali Sanga ("sembilan orang suci").
-
Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.
Dari
teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu menggambarkan
proses konversi ke Islam sebagai ritual pelepasan yang signifikan,
ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata dari ritual konversi,
seperti sunat,
pengakuan iman, dan
mengadopsi nama
Arab. Di sisi lain, ketika peristiwa-peristiwa magis masih
memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa tentang Islamisasi,
peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian teks-teks
Melayu tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke
Islam lebih merupakan "menyerap" Islam ketimbang berpindah,
[1]:9
hal ini konsisten dengan elemen sinkretisme
agama yang secara signifikan lebih besar dalam Islam kontemporer Jawa
dibandingkan terhadap Islam yang relatif lebih ortodoks di Sumatera
dan Semenanjung
Malaya (sekarang Malaysia).
Masuknya
Islam sejak Abad ke-7 Masehi
Sebagian
ahli sejarah menyebut jika sejarah masuknya Islam ke Indonesia sudah
dimulai sejak abad ke 7 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada berita
yang diperoleh dari para pedagang Arab. Dari berita tersebut,
diketahui bahwa para pedagang Arab ternyata telah menjalin hubungan
dagang dengan Indonesia pada masa perkembangan Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke 7. Dalam pendapat itu disebutkan bahwa wilayah Indonesia
yang pertama kali menerima pengaruh Islam adalah daerah pantai
Sumatera Utara atau wilayah Samudra Pasai. Wilayah Samudra Pasai
merupakan pintu gerbang menuju wilayah Indonesia lainnya. Dari
Samudra Pasai, melalu jalur perdagangan agama Islam menyebar ke
Malaka dan selanjutnya ke Pulau Jawa. Pada abad ke 7 Masehi itu pula
agama Islam diyakini sudah masuk ke wilayah Pantai Utara Pulau Jawa.
Masuknya agama Islam ke Pulau Jawa pada abad ke 7 Masehi didasarkan
pada berita dari China masa pemerintahan Dinasti Tang. Berita itu
menyatakan tentang adanya orang-orang Ta’shih (Arab dan Persia)
yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Kaling di bawah
pemerintahan Ratu Sima pada tahun 674 Masehi. Sejarah Masuknya Islam
ke Indonesia
2.
Masuknya Islam sejak Abad ke-11 Masehi
Sebagian
ahli sejarah lainnya berpendapat bahwa sejarah masuknya Islam ke
Indonesia dimulai sejak abad ke 11 Masehi. Pendapat ini didasarkan
pada bukti adanya sebuah batu nisan Fatimah binti Maimun yang berada
di dekat Gresik Jawa Timur. Batu nisan ini berangka tahun 1082
Masehi. 3. Masuknya Islam sejak Abad ke-13 Masehi Di samping kedua
pendapat di atas, beberapa ahli lain justru meyakini jika sejarah
masuknya Islam ke Indonesia baru dimulai pada abad ke 13 Masehi.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa bukti yang lebih kuat, di
antaranya dikaitkan dengan masa runtuhnya Dinasti Abassiah di Baghdad
(1258), berita dari Marocopolo (1292), batu nisan kubur Sultan Malik
as Saleh di Samudra Pasai (1297), dan berita dari Ibnu Battuta
(1345). Pendapat tersebut juga diperkuat dengan masa penyebaran
ajaran tasawuf di Indonesia. Sejarah Penyebaran Islam di Indonesia
Pada masa kedatangan agama Islam, penyebaran agama Islam dilakukan
oleh para pedagang Arab dibantu oleh para pedagang Persia dan India.
Abad ke 7 Masehi merupakan awal kedatangan agama Islam. Pada masa
ini, baru sebagian kecil penduduk yang bersedia menganutnya karena
masih berada dalam kekuasaan raja-raja Hindu-Budha. Sejarah masuknya
Islam ke Indonesia dan proses penyebarannya berlangsung dalam waktu
yang lama yaitu dari abad ke 7 sampai abad ke 13 Masehi. Selama masa
itu, para pedagang dari Arab, Gujarat, dan Persia makin intensif
menyebarkan Islam di daerah yang mereka kunjung terutama di daerah
pusat perdagangan. Di samping itu, para pedagang Indonesia yang sudah
masuk Islam dan para Mubaligh Indonesia juga ikut berperan dalam
penyebaran Islam di berbagai wilayah Indonesia. Akibatnya, pengaruh
Islam di Indonesia makin bertambah luas di kalangan masyarakat
terutama di daerah pantai. Pada akhir abad ke 12 Masehi, kekuasaan
politik dan ekonomi Kerajaan Sriwijaya mulai merosot. Seiring dengan
kemunduran pengaruh Sriwijaya, para pedagang Islam beserta para
mubalighnya kian giat melakukan peran politik. Misalnya, saaat
mendukung daerah pantai yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan
Sriwijaya. Menjelang berakhirnya abad ke 13 sekitar tahun 1285
berdiri kerajaan bercorak Islam yang bernama Samudra Pasai. Malaka
yang merupakan pusat perdagangan penting dan juga pusat penyebaran
Islam berkembang pula menjadi kerajaan baru dengan nama Kesultanan
Malaka. Pada awal abad ke 15, kerajaan Majapahit mengalami
kemerosotan, bahkan pada tahun 1478 mengalami keruntuhan. Banyak
daerah yang berusaha melepaskan diri dari kerajaan Majapahit. Pada
tahun 1500, Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.
Berkembangnya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam ini kemudian
disusul berdirinya Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Di luar
Jawa juga banyak berkembang kerajaan yang bercorak Islam seperti
Kesultanan Ternate, Kesultanan Gowa, dan kesultanan Banjar. Melalui
kerajaan-kerajaan bercorak Islam itulah, agama Islam makin berkembang
pesat dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Agama Islam tidak
hanya dianut oleh penduduk di daerah pantai saja, tetapi sudah
menyebar ke daerah-daerah pedalaman. Sejarah Masuknya Islam ke
Indonesia Saluran Penyebaran Agama Islam di Indonesia Proses masuk
dan berkembangnya agama Islam di Indonesia berlangsung secara
bertahap dan dialakukan secara damai melalui beberapa saluran
berikut: Saluran perdagangan, proses penyebaran agama Islam dilakukan
oleh para pedagang muslim yang menetap di kota-kota pelabuhan untuk
membentuk perkampungan muslim, misalnya Pekojan. Saluran ini
merupakan saluran yang dipilih sejak awal sejarah masuknya Islam ke
Indonesia. Saluran perkawinan, proses penyebaran agama Islam
dilakukan dengan cara seseorang yang telah menganut Islam menikah
dengan seorang yang belum menganut Islam sehingga akhirnya
pasangaannya itu ikut menganut Islam. Saluran dakwah, proses
penyebaran Islam yang dilakukan dengan cara memberi penerangan
tentang agama Islam seperti yanbg dilakukan Wali Songo dan para ulama
lainnya. Saluran pendidikan, proses ini dilakukan dengan mendirikan
pesantren guna memperdalam ajaran-ajaran Islam yang kemudian
menyebarkannya. Saluran seni budaya, proses penyebaran Islam
menggunakan media-media seni budaya seperti pergelaran wayang kulit
yang dilakukan Sunan Kalijaga, upacara sekaten, dan seni sastra.
Proses tasawuf, penyebaran Islam dilakukan dengan menyesuaikan pola
pikir masyarakat yang masih berorientasi pada ajaran agama Hindu dan
Budha. Alasan Agama Islam Mudah Diterima Masyarakat Indonesia Proses
penyebaran Islam di Indonesia berjalan dengan cepat karena didukung
faktor-faktor berikut : Syarat masuk Islam sangat mudah karena
seseorang dianggap telah masuk Islam jika ia telah mengucapkan
kalimah syahadat. Pelaksanaan ibadah sederhana dan biayanya murah.
Agama Islam tidak mengenal pembagian kasta sehingga banyak kelompok
masyarakat yang masuk Islam karena ingin memperoleh derajat yang
sama. Aturan-aturan dalam Islam bersifat fleksibel dan tidak memaksa.
Agama Islam yang masuk dari Gujarat, India mendapat pengaruh Hindu
dan tasawuf sehingga mudah dipahami. Penyebaran agama Islam di
Indonesia dilakukan secara damai tanpa kekerasan dan disesuaikan
dengan kondisi sosial budaya yang ada. Runtuhnya kerajaan Majapahit
pada akhir abad ke 15 yang memudahkan penyebaran Islam tanpa ada
pembatasan dari otoritas kerajaan Hindu-Budha.
Sumber: http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.html
Disalin dari Blog Kisah Asal Usul.
Sumber: http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.html
Disalin dari Blog Kisah Asal Usul.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah mampir ke Blog yang amburadul ini